Happy Cat Kaoani

Selasa, 04 Oktober 2016

Kisah Si Pohon Hannoki (Bagian Kedua) oleh Sukeyuki Imanishi

Tersebutlah sebatang pohon Hannoki yang tumbuh di lapangan tempat latihan militer di kota Hiroshima. Di suatu pagi musim panas, sebuah bom atom dijatuhkan di atas Hiroshima dan pohon itu pun miring. Pada siang hari lapangan itu dipenuhi dengan orang-orang yang terluka. Hiroshima terus terbakar hingga malam hari. Burung-burung yang sayapnya terbakar berdulang berjatuhan dari dahan-dahan si pohon Hannoki…

Pagi pun tiba. Satu hari telah berlalu, dan kebanyakan orang-orang di sekelilingku sudah meninggal. Parit pun kini dipenuhi jasad-jasad yang saling bertumpuk satu sama lain. Sepanjang malam dalam mimpiku, aku mendengar suara bayi menangis. Tapi ternyata itu bukan mimpi, benar-benar ada sesosok bayi di dekat akarku. Entah kapan mereka sampai di situ. Si bayi ada dalam gendongan ibunya. Si ibu memakai sepatu kanvas dan celana kerja. Tidak kelihatan ada luka di tubuhnya, tapi ada handuk melilit di kepalanya. Bayi itu menempel di dada ibunya. Kelihatannya saja si ibu tidak terluka, tapi ternyata ia luka parah di kepala. Nampaknya ia kesulitan melihat.
"Mii-chan…Mii-chan…kau Mii-chan kecilku, kan?" ia terus menggumam. Ibu itu pasti meninggalkan bayi perempuan yang dipanggilnya ‘Mii-chan’ itu di rumah, lalu pergi keluar. Mungkin tepat saat itu peristiwa mengerikan tadi terjadi. Ibu---yang tidak bisa melihat dengan sempurna---itu mungkin mencari-cari di halaman rumah mereka dan beruntung; atau mungkin dia menemukan bayi itu, yang telah diselamatkan orang lain di rumahnya yang hancur, lalu sambil menggendongnya, ia lari sampai sejauh ini. Tapi ia tidak bisa melihat jelas wajah bayi ini, dan itu membuatnya khawatir serta ketakutan. Untungnya wajah si bayi tidak terluka, ada sedikit saja luka bakar di pinggulnya, dan ia hanya memakai celemek yang lusuh.
Suara ibu yang memanggil-manggil, "Mii-chan…Mii-chan…" tidak lagi terdengar. Ia tertidur pulas. Bayinya pun mulai menangis. Ibunya terbangun dan kembali memanggil-manggil namanya. Perlahan-lahan sang ibu mulai kehilangan kesadarannya.
Matahari perlahan meninggi, menyebarkan teriknya yang terasa membakar. Erangan orang-orang yang tidak bisa bergerak itu terdengar makin keras. Bayi itu tiba-tiba menangis keras, tapi tidak ada yang menolongnya. Ibunya tidak lagi bergerak. Payudaranya, yang sedari tadi dihisap bayinya, kini sudah mengeras. Sang ibu meninggal dengan bayi masih berada di gendongannya.
"Tolong! Siapa pun yang masih bisa berjalan, tolong kesini…"
Seumur hidupku, tidak pernah aku melihat kengerian yang seperti ini.

***
Siang itu menjelang petang. Akhirnya datanglah regu penolong. Tapi saking banyaknya orang sudah meninggal daripada yang masih hidup, mereka lebih banyak datang untuk mengambil jasad-jasad itu daripada memberikan pertolongan. Serdadu-serdadu itu rupanya dari Angkatan Laut. Mereka mengibarkan bendera palang merah kecil di salah satu dahanku, lalu mendirikan dua tenda besar. Dokter militer memeriksa mata setiap orang yang tengah terbaring seperti sedang memilih-milih ikan saja. Hanya mereka masih bernapas yang dibawa ke dalam tenda. Bayi Mii-chan yang sedang berada di dekat akarku dipisahkan dari mendiang ibunya, dan dibawa ke tenda. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, aku bisa mendengar suara bayi dari dalam tenda itu. Setiap kali suara itu terdengar, aku merasa lega, karena Mii-chan kecil telah diselamatkan.
Setelah sekitar satu pekan, sebuah kendaraan dengan lambang palang merah datang, dan bayi itu dibawa pergi bersama orang-orang yang terluka; hanya jasad-jasad tak bernyawa yang ditinggalkan. Di malam hari suasananya sepi, tapi sepertinya masih ada korban yang selamat entah dimana, karena sesekali masih terdengar erangan-erangan pelan. Di siang hari, orang-orang berdatangan dari kota untuk mencari teman atau kerabatnya. Mereka akan membolak-balik jasad-jasad yang tertelungkup sambil bergumam, "Bukan dia, ini juga bukan…"
Sekitar akhir musim panas, nyaris semua daun-daunku mati dan gugur. Tapi aku berusaha keras untuk bertahan. Lalu di musim semi aku mengeluarkan tunas-tunas kecil, tapi meskipun tunas itu sempat tumbuh, musim dingin tiba.
Setahun berlalu, lalu dua tahun…
Lapangan tempat latihan ini berubah menjadi lahan pertanian. Dimana-mana berdiri rumah-rumah sementara. Di malam yang panas, tiap kali aku dengar suara bayi dari rumah-rumah itu, aku teringat pada ibu yang terus bergumam, "Kau Mii-chan kecilku, kan?" sampai menghembuskan napas terakhir. Tapi kebanyakan warga yang datang dan tinggal di sini adalah orang-orang yang datang dari jauh. Tidak ada yang tahu tentang hari yang nahas itu. Tapi tetap saja, kadang-kadang ada tulang-belulang yang digali dari tanah di sekitar sini, dan orang-orang pun akan ramai.
Aku sudah kembali sehat, tumbuh tinggi, dan kuat. Burung-burung berdatangan. Kumbang-kumbang tanduk panjang juga datang dan membangun sarang di batang pohonku.
***
Beberapa tahun telah berlalu. Aku dikelilingi oleh bangunan-bangunan apartemen beton. Sewaktu pembangunan dimulai, kupikir akhirnya aku akan ditebang. Tapi suatu hari salah seorang pengawas pembangunan datang menengokku dan berkata, "Dulu orang bilang pohon atau rumput tidak akan tumbuh di Hiroshima selama 75 tahun lagi." Aku jadi bertanya-tanya, apa orang itu kenal denganku---ketika aku masih berdiri tegak sendiri di lapangan tempat latihan militer itu? Apakah ia tahu tentang lapangan yang menakutkan di hari nahas itu? Mungkin orang itu yang membangun taman kecil di sekelilingku. Aku tidak tahu pasti. Tapi karena itulah aku masih terus bertahan.
Aku sedikit lebih tinggi dari bangunan apartemen tiga lantai. Setiap hari, aku mendengar suara-suara yang berbeda. Di musim panas, aku bisa melihat jelas ke dalam rumah-rumah itu. Di balik jendela-jendela yang bentuknya sama itu, hiduplah bermacam-macam orang yang bicara tentang hal-hal yang berbeda.
Anak itu. Ah, iya…aku kan mau bicara tentang anak itu, tapi malah jadi melantur kemana-mana. Jadi gadis kecil---yang rambutnya ia direlakan untuk dipotong oleh kumbang tanduk panjang---itu, aku merasa dia itu sebenarnya si Mii-chan kecil yang diselamatkan dari bawah batang pohonku di hari yang nahas itu. Gadis itu tinggal di lantai tiga bangunan apartemen---di sebuah kamar bagian paling timur. Sepertinya mereka satu keluarga yang terdiri dari tiga orang; ayah, ibu, dan si gadis kecil. Tapi entah kenapa, gadis kecil itu sepertinya lebih banyak tinggal di rumah. Ia juga tidak memanggil wanita di rumah itu dengan sebutan ‘ibu’, melainkan ‘bibi’. Apa si kecil itu tidak tahu dengan melihat semua batang dan dahan-dahanku? Pastinya tidak…
Anak laki-laki itu selalu datang bermain bersama seorang teman sekolahnya. Keluarganya berjualan sayur, jadi sepulang sekolah ia datang ke apartemen ini untuk mengantar sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya.
"Selamat siang, Bu. Saya mengantar lobak daikon pesanannya."
Si anak laki-laki itu tahu betul kalau Mii-chan tinggal di rumah sendirian. Ia akan datang ke rumah ini paling akhir dan mengantarkan sayuran dengan mengucapkan kata-kata tadi.
"Selamat siang, Bu. Ini lobak daikon pesanannya."
Jawabannya selalu sama. "Kamu yakin lobak daikon ini tidak busuk?" Gayanya persis seperti seorang ibu rumah tangga.
Si anak laki-laki akan menjawab, "Oh tidak, Bu. Lobak ini sangat segar! Silahkan coba untuk makan malam nanti dan buktikan sendiri."
Lalu keduanya akan terbahak-bahak bersama. Anak laki-laki itulah yang selalu menemukan kumbang-kumbang tanduk panjang yang hidup di batang pohonku.
Suatu hari setelah mengantarkan sayuran, anak laki-laki itu datang dan memanggil, "Mii-chan… Mii-chan…ayo turun! Aku mau perlihatkan sesuatu yang menarik untukmu." Anak laki-laki itu memegang seekor kumbang tanduk panjang dengan titik-titik putih yang masih mengeluarkan bunyinya. Sejak itu, setiap kali ia datang, anak laki-laki itu akan memanggil turun Mii-chan, lalu membuat kumbang itu menggigiti rambutnya. Mii-chan awalnya akan menolak, tapi pada akhirnya lalu mengizinkan beberapa helai rambutnya digigit oleh kumbang itu. Tapi suatu hari, Mii-chan tidak lagi menolak sekali pun. Anak laki-laki itu---yang selalu berharap Mii-chan akan menolak dan lari---berkata, "Boleh aku membuat binatang ini memotong seluruh rambutmu?"
Mii-chan menarik keras beberapa helai ujung rambutnya dan berkata, "Boleh. Potong semua. Lebih banyak lagi."
Gadis itu terlihat lemah---yang belum pernah nampak sebelumnya. Mii-chan menatap anak laki-laki itu.
"Kau bodoh, Mii-chan. Ujung-ujungnya, kau nanti akan jadi pendeta!"
Bocah laki-laki itu menangis. Ia mendorong Mii-chan dan lari pulang tanpa menoleh sekali pun. Sejak saat itu, si anak laki-laki tukang sayur berhenti datang ke apartemen itu.
Satu bulan kemudian, Mii-chan tiba-tiba batuk berdarah karena udara dingin. Ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal dunia

***
Si anak laki-laki penjual sayur mulai lagi mengirimkan sayur-sayuran ke apartemen itu hampir setiap hari. Di jalan pulang, ia akan berhenti di batang pohonku dan mencari kumbang tanduk panjang. Setiap kali ia menemukan seekor kumbang, ia akan membantingnya ke tanah sekuat tenaga sampai mati.
Pagi ini awan putih berarak di atasku. Itu pasti angin musim gugur. Seiring berjalannya waktu, aku semakin yakin kalau gadis itu pastinya Mii-chan…


Baca bagian pertama di sini.

Selasa, 09 Agustus 2016

Kisah Si Pohon Hannoki (Bagian Pertama) oleh Sukeyuki Imanishi

Awan putih berarak di atasku. Angin ini…pasti di akhir musim gugur. Aku paling suka ketika musim panas akan berakhir. Inilah musim ketika daun-daunku paling nampak berkilap---saat ini jadi nampak sangat tinggi  dan terbentang luas. Bumi di bawah nampak kecil dan indah seolah-olah dilihat dari ujung teropong yang salah. Hari ini anak-anak itu kembali bermain di sini. Mereka menangkap kamikirimushi (kumbang tanduk panjang) yang mereka temukan di batang pohonku. Kumbang ini punya gigi yang kuat.

“Satu saja! Boleh ya aku potong satu saja?” pinta si anak laki-laki seperti biasa.

“Cuma satu ya, tidak boleh lebih.”

Gadis kecil itu perlahan-lahan meraih sehelai rambutnya lalu direntangkan, sambil menatap si anak laki-laki. Anak itu lalu mengeluarkan kumbang kamikiri yang ditangkapnya tadi, dan membiarkannya menggigit sehelai rambut gadis itu. Sang kumbang mengeluarkan suara yang lirih (tidak dengan wujudnya) dan menggigit sehelai rambut gadis itu hingga menjadi potongan-potongan kecil.

“Satu lagi, ya! Boleh, ya?” si anak laki-laki kembali memohon.

“Jangan sampai dia memotong banyak-banyak,” kata gadis kecil itu sambil kembali mengulurkan rambutnya.

Entah kapan mereka pertama kali datang ke sini. Rasa-rasanya gadis kecil itu sudah pernah aku kenal dulu.

***
Dahulu kala, dulu sekali…

Waktu itu tempat ini masih padang rumput luas dan jadi tempat latihan para tentara. Tidak ada rumah, tidak ada jalanan, tidak ada kabel-kabel listrik. Di padang itulah aku berdiri sendiri. Sejak kapan ya? Bahkan aku sendiri tidak ingat. Waktu itu batang pohonku mungkin belum sebesar sekarang. Mungkin juga waktu itu aku belum setinggi sekarang. Di ujung sebelah selatan padang rumput tempat latihan itu ada stasiun Hiroshima, dan aku nyaris bisa melihat asap yang keluar saat kereta itu membunyikan peluitnya. Tampak kepulan asap putih, setelah itu terdengar bunyi mesin.

Saat itu gunung Fujiyama pastinya masih nampak dari stasiun. Gunung Futagayama juga pasti nampak di sisi yang lain, tapi aku tidak pernah ingat melihatnya. Aku masih ingat suara peluit uap di kejauhan. Jauh di ujung padang rumput yang luas itu…

Setiap hari, dari pagi sampai sore, tentara-tentara itu akan datang dan berlatih. Mereka datang berlarian ke arahku dari jarak yang sangat jauh---saking jauhnya sampai-sampai mereka kelihatan seperti biji-biji wijen. Mereka akan menyebar ke samping, berlari ke depan, lalu tiarap di atas tanah, kembali berlari, merunduk, dan bergerak menyerang ke depan. Sesekali akan terdengar suara seseorang, dan akan nampak pedang yang berkilat ditimpa cahaya matahari. Tidak lama kemudian mereka perlahan-lahan mulai mendekat dan akhirnya sambil mengeluarkan teriakan perang, mereka akan berlarian sambil saling menyerang di bawah batang pohonku.

Terdengar suara terompet dan latihan pun selesai. Para tentara itu berbaris lalu menumpuk senjata-senjata mereka seperti batang-batang korek api saja. Waktunya mereka istirahat. Tentara-tentara itu akan datang dan beristirahat di bawah bayang-bayangku yang rindang. Seragam-seragam warna khaki mereka nampak menebarkan keringat. Bau keringat dan kulit akan tercium dari bawah. Bahkan saat ini, di musim panas yang tenang---saking tenangnya sampai bisa terdengar suara dering yang tajam di telinga---terkadang aku masih bisa mengingat bau itu. Seperti kilasan balik atau mimpi. Bahkan ketika itu pun kumbang-kumbang kamikiri sudah sering bermain di batang pohonku. Mereka akan menangkapi kumbang-kumbang itu dan mengadunya. Para tentara di masa itu kepalanya botak, jadi rambut mereka terlalu pendek untuk bisa dipotong oleh kumbang itu. Tapi suatu hari, seorang tentara yang usil menarik kepala temannya, dan mencoba membuat kumbang itu memotong rambutnya. Yang ada kumbang itu malah sedikit demi sedikit menggigit kulit kepala tentara itu saat berusaha menggigiti rambutnya.

"Aduh, apa yang kau lakukan?"

Para tentara itu akan bergelut sambil bermain-main.

***
Serdadu-serdadu itu selalu pulang ke baraknya sambil menyanyikan sebuah lagu militer.

Di sini, di Manchuria, ratusan kilometer dari kampung halaman, disinari mentari merah yang tengah terbenam, temanku berbaring di bawah batu, nun jauh di ujung sebuah padang.

Aku suka sekali dengan nada di bagian lirik; temanku berbaring di bawah batu, nun jauh di ujung sebuah padang. Walaupun aku tidak tahu apa artinya, aku menyaksikan para serdadu itu kembali ke barak, menyanyikan setiap baris lagu tadi dua kali, dan kupikir lagu itu indah.

Aku membayangkan seperti apa suasana perang. Perang diterangi mentari merah yang sedang terbenam, kedengarannya indah. Tapi, itu dulu sekali. Aku tahu para serdadu itu, tapi aku tidak tahu apa itu perang. Beberapa tahun pun berlalu, entah berapa lama…

Mundurlah sedikit dan perhatikan batang pohonku. Akan kelihatan ia miring ke satu sisi dekat bagian akar. Ada yang bilang aku ini pohon buruk yang cacat, tapi tidak banyak orang yang tahu penyebabnya. Tidak ada lagi yang ingat. Di hari yang nahas itulah batang pohonku mulai miring.

***
Pagi itu senyap, embun bermunculan dan tidak ada angin. Sesaat setelah fajar menyingsing, terdengar satu kali raungan sirine. Sirine serangan udara yang memperingatkan adanya pesawat musuh yang mendekat. Tapi tidak ada yang berbeda di kota itu, juga di tempat-tempat lain. Ada satu orang yang berlari dari arah stasiun melintasi lapangan rumput tempat latihan. Ada juga yang sedang menyapu di undak-undakan batu di kuil yang terletak di kaki gunung Futagayama seperti biasa. Mungkin sudah sekitar dua jam berlalu tanpa terjadi apapun. Bahkan tak ada satu kereta pun yang lewat. Lalu sirine itu kembali meraung, mengabarkan kalau peringatan serangan udara sudah dicabut.

Lima atau enam serdadu berbaris cepat di barak yang kelihatan seperti gudang di ujung lapangan tempat pelatihan. Mereka mau pergi sarapan seperti biasa, meskipun sedikit terlambat gara-gara sirine serangan udara tadi. Hari itu pemandangannya biasa, tidak ada yang aneh. Tapi entah kenapa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Di langit seharusnya sudah tidak ada lagi pesawat musuh, tapi ada pesawat kecil yang terbang ke arah kami, nampak bersinar seperti kertas kaca. Pesawat Jepang-kah? Pesawat itu terbang cukup tinggi. Saat melintas persis di atas Hiroshima, pesawat itu mengeluarkan kilauan sejenak, lalu mengubah arah. Tidak lama kemudian, cahaya memenuhi langit. warnanya merah muda pucat atau ungu, seolah-olah ada magnesium yang disulut persis di depan mata.

Aku tidak ingat apa-apa lagi. Semburan angin yang sangat kuat melewatiku dalam sekejap seolah mendorongku. Ah, aku jatuh! Itulah yang ada di pikiranku waktu itu.

Waktu aku tersadar, hari sudah siang. Badanku miring sampai ke akar. Semua daun-daunku menghadap ke selatan, warnanya jadi cokelat muda dan sakit. Langit pagi biasanya cerah sekali, tapi pagi ini semua berawan. Asap membumbung di seluruh penjuru kota. Sesaat aku sempat tidak menyadari apa yang ada di sekelilingku. Aku sedang berdiri di tengah neraka.

Lapangan tempat latihan penuh manusia. Nyaris tidak ada tempat berdiri. Mereka semua seperti monster; tanpa wajah, mata, mulut, atau telinga. Serdadu-serdadu itu bergeletakan tak bernyawa. Kaki-kaki telanjang mereka menyembul dari seragam yang compang-camping. Kuda-kuda berjalan terhuyung, dan jatuh. Bulu-bulu mereka terkelupas, yang nampak kulitnya saja. Tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya rintihan dan erangan. Dari arah kota makin banyak orang berdatangan ke arah lapangan tempat latihan itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, ada parit yang memanjang yang sengaja digali untuk latihan para serdadu. Parit itu kini penuh air berwarna merah keruh. Orang-orang yang tubuhnya terbakar dan kesakitan, merangkak ke arah parit mencari air, mencelupkan kepala di genangan air yang dangkal, lalu berhenti bergerak seolah mereka habis menelan racun yang keras sekali.

Matahari sudah terbenam, tapi langit masih merah dari api yang terus membakar kota itu. Warna merah di langit terpantul di permukaan air dalam parit sehingga kelihatan seperti sungai darah. Nanah yang mengalir dan nyaris menyembul dari kulit-kulit yang luka dan terbakar itu nampak mengerikan. Aku merasa lemah dan terus berpikir akan tumbang. Akarku yang paling tebal mungkin luka, karena rasa sakit ini terasa sampai ke ujung rantingku yang paling tinggi. Sesekali ada yang jatuh dari dahan-dahanku dengan bunyi gemerisik. Aku sempat bertanya-tanya apa itu. Ternyata burung pipit dan walet yang sayapnya terbakar, sampai-sampai mereka tidak bisa terbang. Tidak ada lagi sisa kekuatan mereka untuk terus bertengger di dahanku, dan akhirnya jatuh ke tanah.


Bersambung....

Jumat, 04 Maret 2016

SPOTLIGHT: Menyuarakan Mereka yang ‘Bungkam’

Poster film Spotlight
Walter “Robby” Robinson (Michael Keaton), adalah editor dari Spotlight, tim yang terdiri dari beberapa jurnalis yang menulis artikel investigasi (yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk riset dan publikasi) pada koran The Boston Globe. Jurnalis tersebut di antaranya Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), Matt Carroll (Brian d’Arcy James). Tahun 2001, koran itu mempekerjakan editor baru, Marty Baron (Liev Schreiber). Dari sini keduanya pun mulai bertemu setelah diperkenalkan oleh Ben Bradlee Jr. (John Slattery), seorang projects editor Globe.

Setelah Baron membaca kolom tulisan seorang pengacara, Mitchell Garabedian (Stanley Tucci) di Globe—dimana ia menyebut bahwa Kardinal Law (Uskup Agung Boston [Len  Cariou]) tahu bahwa pastur John Geoghan melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak dan tak melakukan apa pun untuk menghentikannya—dia mendesak Spotlight untuk menyelidiki ini lebih dalam.

Sekilas terlihat mudah sebagaimana ‘berita lainnya’, namun mayoritas penduduk Boston menganut Katolik. Jika ini diangkat ke publik, tentu reaksi masyarakat akan ‘heboh’. Tetapi mereka bersikukuh berita ini harus dimuat demi prinsip teguh yang dipegang seorang wartawan: menyuarakan kebenaran. Tim Spotlight satu per satu mendatangi korban, pengacara (pihak korban dan pelaku), pastur, psikoterapi, hingga penegak hukum. Dari penggalian informasi ini mereka menemukan fakta-fakta yang ‘mengerikan’.

Konflik batin pun mulai terasa. Mereka sadar, lingkungan dan keluarga masing-masing dalam bahaya. Bisakah mereka memutus mata rantai ini lewat ‘pedang’ bernama kata?
***
Film tentang jurnalis yang saya tonton pertama kali adalah State of Play. Pembunuhan yang dianggap ‘biasa’ ternyata menyimpan ‘konspirasi’ yang diungkap dengan apik oleh seorang jurnalis (saya tunggu rekomendasi film serupa dari teman-teman di kolom komentar). Keduanya memiliki spirit yang sama: mencoba mengungkap sebuah ‘kejadian’ berdasarkan fakta dan bukti (yang kuat) dengan tetap menjaga netralitas sebagai jurnalis.

Film ini seolah ‘menyindir’mereka yang tak ‘berani bersuara’.  Peran seorang wartawan harus diperlihatkan jika orang-orang di sekeliling (termasuk ‘tokoh penting’dalam sebuah kota) memilih untuk ‘tutup mata’ terhadap persoalan ‘tabu’. Segala resiko harus mereka tanggung demi kebenaran dan keadilan untuk korban. Di film ini penonton seolah ikut merasakan emosi yang diperankan dengan baik oleh aktor dan aktris (yang beberapa di antaranya ‘tidak asing’ bagi saya).

Dari sudut cerita dan alur, film ini mudah diikuti dan cocok ditonton dengan keluarga. Harap diperhatikan juga bagi orang tua untuk mendampingi anaknya—yang belum dewasa dan matang—menonton film ini, karena ada dialog yang ‘sensitif’.

Karena torehan prestasinya di Oscar, saya pun penasaran dengan film ini dan memutuskan untuk menontonnya. Dan saya sangat merekomendasikan film ini untuk mereka yang sedang atau akan berprofesi sebagai jurnalis. Sayangnya, di credit title tidak disertakan dokumentasi berupa foto dari Tim Spotlight. Tetapi bagi teman-teman yang penasaran, silahkan klik tautan ini untuk melihat profil mereka.

Terakhir, saya ingin mencantumkan sebuah quot yang saya dapatkan dari browsing di Google untuk jurnalis Indonesia, agar senantiasa memegang teguh independensi dalam memuat sebuah berita.

Jumat, 19 Februari 2016

Pemain 'Reply 1988' "Terdampar" di Namibia

Setelah 'menculik' Jung Woo dan kawan-kawan, kali ini PD Na kembali 'membuang' pemain Reply 1988 di Namibia. tvN telah resmi merilis preview videonya di situs mereka.



Cuplikan video variety show 'Youth Over Flowers: Africa'



Dalam season selanjutnya, Youth Over Flowers menghadirkan empat aktor dari drama Reply 1988 untuk bertualang ke Namibia; sebuah negara yang terletak di Afrika bagian barat daya. Aktor Ryu Jun-yeol, Ko Kyung-pyo, dan Ahn Jae-hong dibawa pergi dari Thailand oleh para kru 'Youth Over Flowers' saat mereka sedang syuting. Sementara Park Bo-gum bergabung dengan mereka di Namibia setelah rekaman acara Music Bank di Korea.

Cuplikan perdananya sendiri ditayangkan saat episode 'Youth Over Flowers: Iceland' tanggal 5 Februari 2016. Dalam video terlihat mereka menikmati perjalanan di Namibia (dengan rekaman slow-motion). Mereka menikmati angin berembus yang menerpa wajah di mobil terbuka, Ko Kyung-pyo yang kurang sukses melakukan cartwheel di gurun Namibia, Ahn Jae-hong yang bermain dengan pasir, hingga kuartet ini tiba di tujuan akhir: air terjun Victoria (Victoria Falls).

Episode pertama dari serial ini akan tayang pada 19 Februari 2016 di tvN pukul 09.45 p.m.. Untuk di channel M episode perdananya akan tayang tanggal 5 Maret 2016 pukul 20.00 WIB.
Terbayang kan bagaimana serunya kuartet ini bertualang di 'negeri panas'? :D


Minggu, 07 Februari 2016

Tata Cara Pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (untuk wilayah Makassar)

Postingan ini merupakan rikues dari beberapa teman (yang sering bertanya lewat medsos saya). Kebetulan sekarang ini musim lowongan kerja. Mumpung sempat dan punya waktu luang, jadilah saya menuliskan ini untuk teman-teman yang masih bingung.
Buat yang gagal kurang paham, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (atau disingkat SKCK) adalah surat yang dibutuhkan beberapa penyedia kerja (entah yang bersifat swasta atau negeri). Surat ini diperlukan untuk ‘membuktikan’ bahwa sang pelamar tidak memiliki ‘catatan buruk’ di kepolisian.
Lalu, apa saja persyaratan yang dibutuhkan untuk SKCK? Di postingan ini akan saya bagi menjadi dua; untuk teman-teman yang baru mengurus dan memperpanjangnya. Cekidot bibeh!

Mengurus SKCK
Saya pertama kali membuat SKCK tahun 2014. Awalnya saya pikir mengurusnya bakal ribet. Tapi, jika teman-teman sudah tahu prosedurnya maka akan mudah. Apa saja yang perlu disiapkan?
Pertama-tama, kamu ke kantor kelurahan setempat untuk meminta rekomendasi. Bawalah foto kopi kartu identitas, supaya pegawai kelurahan tidak rieut menanyakan biodatamu. Setelah selesai, kamu bisa meluncur ke Polres setempat untuk meminta rekomendasi pembuatan SKCK. Oya, bagi teman-teman yang tempat tinggalnya di wilayah Kecamatan Rappocini, Polres setempat tidak membutuhkan rekomendasi kelurahan. Jadi, teman-teman bisa langsung menuju ke Polsek Rappocini. Untuk Polres lain, saya kurang tahu pasti. Tapi nggak ada salahnya teman-teman ke kelurahan untuk berjaga-jaga.
Setelah itu, teman-teman menuju Polres. Bagi teman-teman yang bingung wilayahnya termasuk dalam Polres mana pengalaman pribadi soalnya, teman-teman bisa cek di kartu identitas (Kartu Tanda Penduduk). Perhatikan di bagian kecamatan mana teman-teman berdomisili. Misalnya, jika tempat tinggalmu berada dalam Kecamatan Mamajang, berarti kamu harus meminta rekomendasi ke Polsek Mamajang.
Saya lupa apa saja persyaratannya (jika ada waktu saya akan update persyaratannya apa saja); tapi teman-teman sediakan saja foto kopi ijazah terakhir, foto kopi kartu identitas, foto kopi Kartu Keluarga, serta pas foto (berlatar merah)  ukuran 3x4 cm dan 4x6 cm. Saya sarankan bawalah berkas-berkas tersebut sebanyak-banyaknya. Berkas yang berlebih jauh lebih baik daripada kurang. Untuk biaya administrasinya, seingat saya sekitar 10.000 rupiah (untuk Polsek Rappocini).
Setelah ke polsek, barulah menuju ke Polrestabes untuk membuat SKCK. Sebelum ke bagian administrasi, terlebih dulu kamu mengurus Kartu Sidik Jari (jika belum memiliki kartu tersebut). Sediakan pas foto (berlatar merah) ukuran 2x3 cm. Saya lupa berapa lembar persisnya yang dibutuhkan. Tapi sediakan saja 5-7 lembar foto. Biaya administrasinya sekitar 10.000 rupiah. Dalam proses pembuatannya, kamu akan mengisi berkas yang meliputi; tinggi dan berat badan, warna rambut, golongan darah, warna mata, dan sebagainya. Jadi pastikan data yang kamu berikan valid. Oya, di sesi ini tanganmu akan ‘kotor’ sedikit. Bawalah tisu basah untuk mengusap tanganmu dari noda.
Selanjutnya, kamu tinggal mengisi data-data yang diperlukan untuk mendapatkan SKCK. Ada pun berkas yang perlu kamu siapkan antara lain:
1. Rekomendasi polsek setempat;
2. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau kartu identitas lain;
3. Foto kopi ijazah terakhir;
4. Pas foto 4x6 (berlatar merah) sebanyak empat lembar;
5. Mengisi daftar pertanyaan dan kartu TIK; serta
6. Kartu Sidik Jari.
Proses pembuatannya tidak terlalu lama, jadi teman-teman tunggu saja hingga  namamu dipanggil. Petugas memanggil namamu dengan tujuan untuk mengonfirmasi apakah data-data yang diisi sudah benar. Jika sudah selesai, petugas biasanya akan menanyakan apa SKCK ini ingin diperbanyak dan dilegalisir. Biayanya 10.000 rupiah (pembayaran dilakukan di loket) untuk lima lembar salinan SKCK beserta legalisirnya (berdasarkan peraturan perundang-undangan). Masa berlakunya SKCK selama enam bulan, sedangkan Kartu Sidik Jari sendiri seumur hidup.

Bentuk SKCK

Perpanjangan SKCK
Setelah enam bulan, masa berlaku surat tersebut sudah habis. Kamu masih membutuhkannya karena tak kunjung dapat kerja  karena ingin mengurus untuk hal lain. Jadi, berkas-berkas yang diperlukan untuk kamu bawa ke Polrestabes yakni:
1. SKCK lama;
2. Foto kopi KTP atau lainnya;
3. Foto kopi ijazah; dan
4. Pas foto ukuran 4x6 cm (berlatar merah) sebanyak tiga lembar.
Selanjutnya---sama seperti sebelumnya---kamu tinggal menunggu untuk dipanggil ke ruang administrasi.
Catatan penting!
1. Simpan baik-baik KSJ (Kartu Sidik Jari) dan SKCK.
Masa berlakunya seumur hidup, dan kegunaannya juga bermacam-macam. Jangan khawatir, kartu ini sudah di-press oleh petugas sehingga lebih awet. Jika hilang, hubungi Polrestabes setempat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
SKCK lama juga diperlukan jika kamu ingin memperpanjangnya (sudah baca persyaratannya, belum?). Karena itu harap kamu tidak sembrono. Jika khawatir akan tercecer, simpanlah di map tersendiri untuk memudahkan bila suatu saat diperlukan.
2. Pas foto kamu harus dilakukan di studio foto dan berpakaian rapi (memakai kemeja).
Petugas tidak menerima foto yang diambil menggunakan kamera handphone dan memakai baju kaos. Gambar cenderung kurang jelas, dan komposisinya biasanya buruk. Petugas juga melarang pelamar memakai baju kaos karena kesannya kurang sopan.
3. Membawa berkas-berkas secara ‘berlebih’.
Berlebih di sini bukan berarti over-limited (misalnya foto kopi-an berkas yang kamu bawa sebanyak 100 rim). 10-15 lembar untuk setiap berkas saya pikir sudah cukup. Dana yang kamu bawa juga sebaiknya ‘lebih’ dari yang diperlukan. 100.000-150.000 rupiah saya pikir sudah cukup. Ini untuk berjaga-jaga, karena dana yang saya sebutkan hanya sebatas perkiraan (bukan buat nyogok petugasnya, ya!)
4. Jangan menyerahkan pada calo!
Saat pengurusan SKCK yang pertama kalinya, saya ditawari oleh seseorang dengan alasan agar ‘lebih cepat’ serta ia mengenal ‘orang dalam’. Awalnya saya ingin menerima (karena kasihan), tapi setelah saya pikir-pikir biayanya pasti lebih mahal. Dan benar saja, calonya minta ‘uang saku’ sebanyak 200.000 rupiah. Jauh lebih ‘fantastis’ dibanding harga perkiraan, kan?
5. Sabar, terampil, dan gembira.
Yang namanya mengurus hal-hal seperti ini pasti membutuhkan waktu yang lama. Jangan asal main semprot petugas dan menyalahkan birokrasi. Bagaimana pun mereka sudah berusaha melayani dengan maksimal. Jika ada hal yang kurang jelas, jangan malu untuk bertanya dengan petugas dengan tampang kiyut tanpa efek B612. Oya, saat pengisian biodata petugas sudah menyediakan contoh pengisiannya. Jadi tidak perlu khawatir dan bingung.

Bagaimana, sudah cukup paham? Jangan lupa untuk saling berbagi di kolom komentar atau medsos saya mengenai pengurusan SKCK di tempatmu masing-masing.

Siap, 86!

Senin, 25 Januari 2016

Etiket: Cara Ngupil yang Baik dan Benar

Sebelum membaca artikel ini secara keseluruhan, pastikan Anda tidak dalam keadaan makan atau minum, karena dikhawatirkan Anda akan terserang muntaber sehabis membaca ini.


Siapa sih yang nggak pernah ngupil? Aktivitas ini adalah ‘agenda rutin’ yang dilakukan manusia (saya nggak tahu apa hewan ngupil juga, belum pernah liat soalnya) saat hidung terasa ‘penuh’. Sayang, sebagian kita kadang mengabaikan tatapan ‘aneh’ saat orang-orang ‘yang tidak biasa’ melihat. Alasannya bermacam-macam, tapi umumnya pengupil (sebut saja demikian, demi efisiensi) menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang manusiawi. Toh, tidak ada undang-undang yang melarang pengupil melakukan aktivitas ‘sakral’ itu di tempat umum.

Sayangnya, saya adalah satu dari beberapa orang yang merasa keberatan dengan hal ini. Bagaimana pun, saya punya hak untuk melihat pemandangan yang ‘bersih’. Saat di angkot, peristiwa ini kadang terjadi. Dan jika kita (tanpa sengaja) melihat ‘ritual’ ini sambil ngemut permen, bawaannya gimanaaa gituu

Tapi bukan berarti saya melarang, bahkan mengharamkan kegiatan tersebut. Pengupil juga punya hak untuk memenuhi ‘kegiatannya’, dan masyarakat yang tidak sepakat jangan langsung menghakimi secara membabi-buta. Kunci agar tidak terjadi konflik adalah komunikasi. Tetapi, rasanya kurang etis kalo kita menegur si pengupil secara langsung---terlebih jika mereka lebih tua dari kita dan lokasinya seringkali ‘kurang tepat’, karena biasanya hal ini terjadi di tempat umum.

Lantas, apakah kita (non-pengupil) harus mendiamkan kejadian ini? Tentu tidak. Sebagai manusia, sepatutnya kita harus saling berbagi ilmu agar orang-orang terus berada dalam ‘jalurnya’. Karena itu, berikut ini saya membagikan ‘tutorial’ agar pengupil tetap bisa menyalurkan ‘bakat’ dan ‘hobi’-nya.

1. Setelah mandi pagi, cek lubang hidung Anda memakai cermin.
Setelah mandi pagi adalah waktu yang tepat untuk membersihkan hidung. Dalam kondisi tersebut, upil ‘tidak keras’ dan ‘kering’, sehingga lebih mudah dibersihkan. Lebih bagus lagi jika Anda memiliki cermin kecil yang bisa dibawa-bawa. Jika tidak punya, cermin biasa pun bisa Anda gunakan.

Selain mengecek upil, Anda juga sekaligus memeriksa bulu hidung yang tumbuh ‘melebihi batas’. Kadang orang sering mengabaikan masalah ini, dan ironisnya yang lebih sering menyadari adalah orang di sekitar Anda. Sayang, mereka terlalu malu untuk menegur karena hal ini terkesan ‘sensitif’.

2. Gunakan tisu wajah, bukan tangan.
Menggunakan tangan untuk mengupil bagi saya ‘lebih berisiko’, terlebih jika Anda penganut aliran’kuku panjang lebih baik’. Disadari atau tidak, kadang sisa-sisa upil sering menempel di ujung kuku tanpa Anda sadari. Membersihkannya pun harus teliti, agar Anda tidak terkena ‘racun’ mematikan.

Saya sarankan Anda menggunakan tisu wajah. Permukaannya lebih lembut dan tidak melukai hidung. Jika hidung dalam kondisi kering, pastikan untuk membasahinya terlebih dahulu agar upil ‘tidak sulit’ dibersihkan.

3. Gunakan masker saat keluar rumah.
Untuk kamu yang mobilitasnya lumayan padat, jangan lupa gunakan masker saat keluar rumah (ini bukan masker yang dipakai cewek-cewek untuk perawatan wajah itu, ya!). Kadang orang suka menyepelekan hal ini dengan alasan biar wajah cantik atau tampannya terlihat pengendara lain (yang kebetulan jomblo dan kece), dan akhirnya dipepet untuk sekedar kenalan atau minta id Line. nggak nyambung sama sekali

Padahal, masker ini sangat berguna untuk mengurangi ‘produksi’ upil berlebihan---yang ditimbulkan akibat menghirup polusi kendaraan. Hal ini juga membantu pengupil untuk mengurangi obsesinya ‘menggosok’ hidung secara berlebihan.

4. Selalu bawa tisu wajah, tisu basah, cermin kecil, dan senter kecil ketika bepergian.
Penting bagi pengupil untuk membawa benda tersebut saat bepergian. Kadang di saat tertentu Anda merasa hidung sudah ‘penuh’ sehingga sangat mendesak untuk ‘dikeluarkan’. Jika di ‘tempat tersembunyi’ Anda tentu lebih leluasa melakukannya. Tapi bagaimana jika sedang makan bersama kolega, atau (yang lebih parah) calon mertua Anda?

Gampang! Katakan bahwa Anda ingin ke toilet sebentar, lalu bawalah keempat benda tadi bersama Anda. Jika Anda berada di mal, pastikan Anda masuk di bilik toilet, bukannya nongkrong di depan cermin wastafel. Selain lebih ‘aman’, Anda juga akan lebih ‘leluasa’. Ingat, yang lebih penting adalah ruang privasi. Dimana pun tempatnya, pastikan terlebih dahulu suasananya cukup sepi sehingga tak berpotensi diintip oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Mungkin di antara Anda ada yang bertanya-tanya, apa kegunaan senter kecil yang saya sebutkan? Jangan anggap sepele, karena fungsinya untuk ‘menerangi kegelapan’ di lubang hidung Anda. Apalagi jika penerangan di sekitar Anda minim, benda ini sangat membantu agar ‘pembersihan’ lebih optimal. Setelah selesai, jangan lupa untuk mencuci tangan Anda dengan sabun. Jika di tempat tersebut tidak tersedia wastafel, sekalah dengan tisu basah untuk menuntaskan ‘sisa kuman’ yang tak terlihat.


Bagaimana, cukup membantu kan? Pengupil jadi bisa menyalurkan hobinya tanpa mengganggu kenyamanan khalayak umum. Dan yang paling penting, non-pengupil tidak merasa terganggu lagi dengan pemandangan yang membuatnya ‘eneg’. :)

Keep clean and healthy, guys!! :)



Note: Berdasarkan pengalaman pribadi

Kamis, 21 Januari 2016

Best Social Media (I’ve Ever Had): PLURK

Saya pertama kali bergabung di Plurk tahun 2010, tepatnya tanggal 1 Maret nyontek dari profil. Saat itu medsos yang paling tren adalah Facebook dan Twitter. Seorang teman mengundang saya untuk bergabung di sini dan sayang sekarang dia sudah tidak aktif, dan ketika saya search untuk mencari tahu seperti apa ‘penampakannya', saya seketika jatuh cinta.

Tampilannya emang ‘nggak banget’. Sederhana, tetapi bagi saya Plurk cukup seru dan ‘lain’ dari medsos waktu itu. Dengan layout yang bisa diganti sesuai keinginan, membuat kita langsung teringat Friendster, medsos yang paling buming tahun 2000-an. Dan untuk membuat perasaan ‘lebih tersampaikan’, ada beberapa emoticons yang disediakan, tetapi ada ‘persyaratan tertentu’ bagi pengguna. Apa itu?

Namanya ‘Karma’. Bukan, ini bukan judul lagunya ‘Cokelat’, atau perbuatan manusia ketika hidup di dunia. Karma itu sejenis poin yang harus diraih pengguna agar tampilan plurk-nya maksimal. Makin tinggi karma, emoticons yang didapat semakin banyak. Awalnya, karma plurk itu sampai angka 100. Belakangan, angkanya semakin bertambah. Untuk saat ini, karma tertinggi yang diraih seorang plurker Indonesia adalah 150. Saya juga nggak tahu pasti sampai kapan karma ini berlanjut (langsung baper di bagian ini)..


Tampilan Profil Plurk

Selain emoticons, plurk juga menyediakan berbagai ‘aktivitas’ untuk menggambarkan perasaan kita. Ada salah satu ungkapan yang menjadi andalan plurker sejati, yakni ‘whisper’ atau ‘bisik’. Ungkapan ini berguna bagi plurker yang ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak ingin diketahui sebagai dirinya. Contohnya; plurker A ingin menyatakan perasaannya pada plurker B tanpa diketahui yang bersangkutan karena kemungkinan besar ditolak, karena itu ia mengirim ‘whisper’.


Berbagai ‘aktivitas disediakan untuk melengkapi Plurk-mu

Yang unik, ‘whisper’ ini hanya terlihat di circle pertemanan pengguna. Jadi, pastikan kamu berteman dengan sang target sebelum melancarkan ‘bisikan’ hatimu. :D


Tampilan Plurk anonymous (kiri) dan Plurk ‘normal’

Meski pilihan sosmed sekarang semakin menggila, toh saya tetap setia menggunakan Plurk. Tidak ada orang yang akan mengataimu ‘alay’ jika kamu apdet status begini, "Huft, hujannya kok belum reda ya? (emoticon sedih)" Jika di medsos lain, dalam waktu sepersekian detik statusmu akan di-capture dan jadi bahan meme orang iseng.

Bagaimana denganmu? Tertarik buat gabung? :)